Kisi-Kisi UN yang Tidak Tertulis dalam KTSP

Standar

Semua guru kelas 6 SD se-Indonesia berbondong-bondong mencari kisi-kisi UN atau yang biasa disebut SKL (Standard Kompetensi Lulusan).

Bagaimana tidak? UN yang akan dilaksanakan pada bulan Mei nanti soalnya berdasarkan kisi-kisi tersebut.

Berbicara tentang kisi-kisi, ada yang membuat hati saya terganjal. Bahasa Indonesia misalnya, kisi-kisi banyak memuat hal ihwal kebahasaan seperti ungkapan, peribahasa dan sebagainya yang intinya tidak ada dalam KTSP.

Lalu guru-guru pun kelabakan karena tidak mengajarkan siswa-siswanya peribahasa dan lain-lannya yang tertera dalam kisi-kisi tersebut.

Sebenarnya yang kurang pas itu kisi-kisinya, atau KTSPnya?

Guru tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengikuti arus air mengalir, karena tidak punya perahu motor yang bisa melawan arus air. Kalau pun sesekali ingin melawan arus, maka akan tumbang di tengah jalan.

 

Mutiara dari Gubuk Reot

Standar

Mutiara dari Gubuk Reot

(Yunita Fitri Handayani)

Pagi ini aku mulai masuk sekolah baruku. Agak sebel sih, udah biasa hidup di luar negeri, sekarang harus tinggal di kota Surabaya yang sumpek ini. Waktu aku di Australia, Jepang, Jerman, tidak pernah kurasakan macet di jalan raya. Semua fasilitas canggih-canggih, pokoknya keren deh!

“Ayo, sayang, kita berangkat!” kata papa sambil membukakan pintu mobil untukku.

“Iya, iya!” sahutku jengkel.

“Loh, jangan cemberut gitu dong, sekolah baru, harusnya juga semangat baru!” kata mama sambil menepuk bahuku.

Sekitar tiga puluh menit kemudian…

“What??!! Sekolah macam apa ini, Pa?!” aku uring-uringan. “Sekolah belum jadi! Mana parkiran becek lagi! Mau masuk kelas aja harus lepas sepatu! Padahal sepatuku kan buatan Belanda!”

Papa tidak mempedulikan aku, malah langsung ngajak ke kantor admin, ruang kepala sekolah, dan langsung menuju ke kelas. Kelas 3D. Aku ditinggal gitu aja soalnya papa mau ada meeting di kantornya. Aku disambut oleh seorang guru yang anggun, berkaca mata, dan manis senyumnya.

“Nah, anak-anak, kita kedatangan tamu baru loh, teman kita ini sudah lama tinggal di luar begeri, karena papa dan mamanya pengusaha besar.” kata guru itu, Bu Firmani namanya.

“Assalamu’alakum, nama saya Rosalinda Van Schuylenburch,” setelah dipersilakan aku mulai memperkenalkan diri. Semua anak melihatku, dengan tatapan aneh. Iiih, kampungan bener, sih! Ga pernah tahu nama keren apa! Kulanjutkan lagi perkenalanku. “Mama saya dari Jakarta, msih keturunan Jerman, papa saya masih keturunan Belanda.” Masih ada juga yang nanya-nanya, terpaksa deh aku jelasin satu-satu.

“Sudah, sudah, pertanyaannya cukup dulu, ya? Rosalinda, silakan duduk di sebelah Siti.” kata Bu Firmani.

Yaelah… hari gini masih pake bangku kayu?! Terpaksa deh aku duduk di samping anak kecil, kurus, item, and… dekil!

“Kenalkan, saya Siti, Siti Qonaah.”

Kusambut uluran tangannya, “Iiih, kasar banget, sih? Emang ga punya hand and body lotion apa?!” kataku dalam hati.

Hari itu pelajaran tematik kulalui dengan gampang. Sains, Matematika, semua lewat! Terlalu gampang malah menurutku. Pelajaranku di Australia mungkin tingkat kesulitannya setara dengan pelajaran kelas lima di sekolah ini.

Pukul 09.00 bel berbunyi, Siti mengajakku, “Ayo, Rosalinda! Kita tahfidz ke kelas sebelah!”

“Hah? Apa itu tahfidz? Di Australia ga ada tahfidz!” tanyaku penasaran.

“Tahfidz itu kita menghafal Al Quran.” jawab Siti pendek.

Sontak saja aku kaget. Solat aja kadang-kadang, apalagi menghafal Quran? Aduh, gimana dong… Aku cuma bisa Al Fatihah, dan.. TRIKUL! Kulhuallah, kula’udzubirobilfalaq dan kula’udzubirobinnas! Aduh, pipiku jadi panas dan merah, malu!

Pelan-pelan kudekati Siti, “Sit, kamu hafalan surat apa?” Dia membuka Quran dan menunjukkan nama suratnya sambil tersenyum hangat. What?!! Al Mujadilah? Hah! Juz 28?! Oh my god, Siti yang kelihatannya seperti anak kampung, dekil, ternyata sudah hafal jus 29 dan juz 30! Mataku semakin terbelalak dibuatnya.

Tidak terasa, pukul 14.00 bel sekolah berbunyi, kami pulang. Papa jemput aku pukul 16.00, biasa, lagi-lagi urusan perusahaan.

“Ke rumahku aja, yuk!” Siti menggandeng tanganku. “Jangan khawatir, rumahku dekat, kok. Gang seberang sekolah. Nanti biar aku minta tolong Ummi agar sms papamu. Gimana?”

Aku mengikuti ajakannya. Sampailah di sebuah rumah kayu yang sederhana, tapi bersih dan asri dengan tanaman, bunga-bunga, dan kolam kecil.

“Assalamu’alaikum, Ummi! Siti punya temaan baru, loh. Namanya Rosalinda… bla… bla… bla….” Dia menceritakan hal-hal yang baik tentang aku kepada ibunya.

Sekali lagi, aku dibuatnya terpesona. Saat Siti datang, dia mencium tangan ibunya. Ibunya pun menyambut dengan pelukan hangat dan kecupan penuh kasih sayang di dahi Siti. Sementara aku? Setiap pulang sekolah aku dijemput sopir. Disambut pembantu. Mama dan papaku pulang malam, kadang-kadang aku ga pernah ketemu karena pukul 20.00 aku sudah tidur.

“Hei!” Siti mengagetkan aku. “Kok ngelamun, sih? O, iya, Aisyah, ini teman kakak, ayo salim dulu!” Anak kecil berusia empat tahun itu menyalami dan mencium tanganku dengan penuh hormat sekaligus ramah. “dan ini Fatimah, adikku  yang masih dua tahun.” Sekali lagi adik bayi itu melakukan hal yang sama. “Rosalinda, bisa aku titip adik bayi?” Kujawab dengan anggukkan.

Fatimah ajak aku jalan-jalan ke dalam rumah Siti. Ternyata rumah Siti seperti… maaf, seperti gubuk. Lantainya disemen, dan tempat tidurnya hanya sebuah kasur yang kempis diletakkan begitu saja, tanpa tikar, tanpa dipan, hanya ditutupi sprei yang bersih, namun warnanya sudah pudar, tidak jelas itu warna putih atau cokelat.

Adzan ashar berkumandang, aku diajak Siti dan ibunya untuk solat berjamaah. Ini yang tidak pernah kudapatkan di rumah. Solat. Apalagi berjamaah bersama keluarga. Hatiku semakin tercabik-cabik. Aku ingin nangis, aku malu dengan Siti, aku iri dengan keluarga Siti.

Perlahan kesombonganku mulai rontok. Apa gunanya aku berwajah cantik? Putih, tinggi seperti bule? Apa gunanya aku menguasai aritmatika, sains, dan Olimpiade sampai tingkat internasional kalau baca Quran saja aku tidak bisa! Apa gunanya rumah elit, mobil empat, pembantu empat, sopir, tukang kebun, satpam, dan segala fasilitas tersedia, kalau orang tuaku tidak pernah memberiku kasih sayang? Percuma aku mahir Bahasa Inggris kalau tahfidz saja aku melempem!

Kini aku mengerti ternyata rumah sederhana itu, sekolah sederhana itu, melahirkan anak-anak solih, akhlaknya, ibadahnya, juga prestasinya. Subhanallah, Siti ibarat mutiara dari gubuk reot. Aku ingin meneladaninya.

Pelatihan Blog

Standar

Laboratorium Teknik Komputer PENS ITS yang biasanya di hari efektif dipakai mahasiswa PENS ITS, pada hari sabtu 30 April 2011 ada “mahasiswa kehormatan”. Mahasiswa kehormatan ini adalah guru-guru dari  SD IT Al-Uswah Surabaya  untuk belajar membuat dan mengoptimalisasi blog sebagai sarana pembelajaran.

Peserta pelatihan yang berjumlah 40 guru ini dengan telaten dan suasana yang “hidup” memperoleh pengalaman baru dalam dunia bloger. Agar lebih menyemangati, panitia membuat kompetisi dari pembuatan blog ini yang penilaiannya untuk satu bulan kedepan.

Firman Arifin sebagai pemateri pelatihan ini juga memberikan bonus bagi peserta yang terpilih sebagai juara berupa domain dan hosting sebesar 1 GB. Domain name bisa dipilih sendiri sesuai kemauan sang pemenangan.

Sebelumnya, Firman  menjelaskan kepada peserta tentang apa itu blog dan apa pula manfaatnya. “Blog adalah kependekan dari Weblog, merupakan kumpulan teks dokumen, gambar, obyek media, dan data yang tersusun secara rapi dan menurut kronologi tertentu. Blog dapat dilihat melalui browser  dan biasanya berisi catatan atau jurnal pribadi dan interaktif karena bisa dikomentari dari para pembaca”.

Manfaat blog dalam kontek pembelajaran adalah:

  1. Meningkatkan kreativitas guru dalam pembelajaran
  2. Pengembangan pembelajaran on-line (E-Learning)
  3. Menumbuhkan pembelajaran mandiri pada siswa

Semoga pelatihan blog ini sebagai pengabdian masyarakat dari PENS ITS untuk guru-guru SD IT Al-Uswah dapat bermanfat untuk guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

Berikut hasil pelatihan pembuatan blog:
bagussubuhhadi.wordpress.com
yunitafitrihandayani.wordpress.com
norisshine.wordpress.com
abdulazhim.wordpress.com
faizhasbi11.wordpress.com
ulyajnihatin.blogspot.com
ninikistiyawati.wordpress.com
sweetshalihah.wordpress.com
ennytrias.wordpress.com
ninik-jones.blogspot.com
ninikuswah.wordpress.com
anidiyasuryaniecuz.blogspot.com
faridatulqomariyah.blogspot.com
aurelsalsabilla.blogspot.com
wantiuswah.blogspot.com
Nai2hamaz.blogspot.com
rizkayamani.blogspot.com
lia-anies.blogspot.com
diqimuslim.blogspot.com
catatanku-satuhatiuntuksemua.blogspot.com
belajar-cerdassmart.blogspot.com
tetapdanselalusemangat.blogspot.com
yassireffendy.blogspot.com
semangat-hidupku.blogspot.com
kanghadi-kanghadi.blogspot.com
d3nyuswah.blogspot.com
cakadengguanteng.blogspot.com
sehatselalu.blogspot.com
yasminrafidatussoliha.blogspot.com
mariniAluswah-catatanterindahku.blogspot.com
aanirma37.blogspot.com
yulirminan.wordpress.com
rikamumtaz.blogspot.com
catatanhirameki.blogspot.com
idahmind.blogspot.com
anandyah.com

Sumber: http://www.firman-its.com

Kancil Lan Merak

Standar

Dongeng Basa Jawa

Kancil Lan Merak

Merak pancen seneng macak. Mula tansah nengsemake. Wulune katon edi, gawe resep kang padha nyawang. Mula ora sithik tangga-teparo padha mara nyang omahe Merak saperlu sinau ngadi busana lan ngadi salira.“Aku pengin supaya bisa nduweni sandhangan wulu kaya kowe, Rak,” ujare Kancil marang Merak.“Sandhangan wulu kang tememplek ing awakku iki paringane Gusti Kang Akarya Jagad. Aku mung tinanggenah ngrumat lan njaga supaya tetep katon endah,” wangsulane Merak kanthi sareh. “Anggonku seneng dandan lan ngupakara kaendahan iki mung wujud rasa syukurku marang Gusti!” bacute tanpa linandhesan rasa umuk.“Supaya wuluku bisa dadi kaya wulumu, piye carane?” pitakone Kancil.

“Tangeh lamun, Cil! Aku-kowe ki mung saderma nglakoni. Apa kang dadi peparinganing Pangeran kudu tinampa kanthi ati segara,” wangsulane Merak. “Karo maneh kabeh sing tememplek ana saranduning badan iki, mesthi piguna marang awake dhewe. Kang ana ing aku ora durung mesthi ana ing kowe, semono uga kosok baline, Cil. Wulu soklatmu kuwi mesthi piguna tumrapmu!”

Nanging Kancil sajak kemeren nyawang kaendahan wulune Merak. “Piguna apa?” Sawise megeng napas sawetara banjur nggrundel, “Senajan piguna, nyatane wuluku letheg! Aku luwih bungah yen wuluku bisa kaya wulumu! Saben kewan ora sebah nyawang!”“Kuwi rak mung saka panggraitamu dhewe. Nanging ora kok, Cil!” sahute Merak. “Sebab saben kewan ginaris dhewe-dhewe! Uga bab wulu! Wulu-wuluku kaya ngene, wulu-wulumu kaya ngono, wulune Macan, wulune Gajah, lan sato kewan liyane ora ana sing padha!”

Senajan akeh-akeh Merak anggone ngandhani, nanging ora bisa mbendung pepenginane Kancil nduweni wulu kaya wulu Merak. “Sakarepmu anggonmu kandha, Rak! Mung aku njaluk tulung supaya aku bisa nduweni wulu kaya kowe!” kandhane Kancil setengah meksa.

Merak gedheg-gedheg gumun karo kekarepane Kancil. “Saupama bisa, terus mengko kowe dadi kewan apa?” pitakone Merak.

“Kewan apa wae terserah sing arep ngarani! Mung kira-kira bisa ta, Rak?” pitakone Kancil ngoyak, ora sabar.

“Bisa wae, nanging mung imitasi! Pasangan!”

“Ora masalah!” Kancil bungah. “Ndang dipasang!” panjaluke kesusu.

“Ya sabar, Cil! Aku kudu nglumpukake bodholane wuluku lan wulu-wulune wargaku.”

“Terus kapan?”

“Udakara rong mingguan.”

“Tak tunggu, Rak,” ujare Kancil banjur nerusake lakune.

Merak mung nyawang kanthi mesem, “Cil, Kancil. Yen duwe kekarepan kok ngudung, tanpa metung tuna lan bathine. Kudu tak udaneni kekarepane, ngiras kanggo menehi piwulang marang dheweke.”

Tekan dina sing dijanjekake, esuk uthuk-uthuk Kancilwistekan omahe Merak. “Piye, Rak? Ikiwisrong minggu!”

“Beres!” jawabe Merak karo nata wulu-wulu singwisdiklumpukake, “Gilo! Wulu-wuluwismlumpuk, malahwisdakdhewek-dhewekake! Wulu awak, wulu swiwi, wulu buntut, aku ugawisgolek tlutuh wit karet barang minangka kanggo nemplekake ing badanmu!”

“Wis gek ndang dipasang nyang awakku!” ujare Kancil karo lungguh dhingklik sacedhake Merak. Merak banjur ngoser-oseri kabeh kulite Kancil nganggo tlutuh karet. Bareng kawawaswisora ana sing keri, baka siji Merak nemplekake wulu-wulu nut karo kebutuhane. Wulu gulu ditemplekake ing gulu, wulu awak ing awak, wulu sikil ing sikil, dene wulu buntut uga dipasang ing buntute Kancil. Sedina natas, kabeh wuluwiskapasang ing kulite Kancil.

“Rampung, Cil,” ujare Merak mesem. “Kae ana pengilon, ndang ngiloa!”

Kancil banjur ngilo. Weruh kahanan awake, dheweke mongkog, “Iki sing dakkarepake!” celathune. “Aku bakal dadi salah sijining kewan kang paling endah!”

“Bener kandhamu, Cil. Tur ora ana sing madhani!” Merak mbombong. “Mung aja nganti kaendahan mau malah ngreridhu lakumu,” bacute ngelingake.

“Ngreridhu piye? Wong apike kaya ngene kok ngreridhu.”

“Lho, wulu-wulu kuwi mung templekan. Cetha bakal ngebot-eboti awakmu!”

Kancil ora nggagas, malah gage pamitan. “

Wis, Rak. Aku pamit! Lan nedha nrima awit saka kabecikanmu, aku selak pengin mamerke kahananing awakku saiki!”

“Sing ati-ati, Cil,” kandhane Merak karo nguntapake Kancil metu saka omahe.

Metu saka platarane Merak, Kancil mlaku lon-lonan. Bokonge digidal-gidulake, pamrihe supaya bisa mamerake wulune kang apik tur edi. Saben ketemu sato, Kancil tansah mesem karo aruh-aruh sombong. Dene sing diaruhi uga genti mesem, mung eseme esem geli. Geli amarga weruh kahanan kang ora lumrah. Nanging tumrap Kancil esem mau tinampa beda, “Kabeh kewan padha kesengsem lan kepincut karo aku,” ujare jroning ati.

Nanging sengsem, edi, lan endah mau ora suwe. Bareng tlutuh karet mau garing, kulite Kancil dadi kaku nyekengkeng. Akibate sikil, gulu, lan buntute angel diobah-obahake. Kancil mung bisa njegreg ngececer, ora bisa lumaku. “Tulung! Tulung! Tuluuung!” pambengoke sabisa-bisane.

“Ana apa, Cil?” pitakone Merak krungu pambengoke Kancil.

“Gage tulungana aku, saranduning badanku angel diobahake!”

“Kabeh wulu sing nemplek ing awakmu kudu dicopot kabeh, kowe gelem?”

“Gelem, Rak!” ujare Kancil nglenggana marang apa singwisdilakoni. Dheweke eling menawa kabeh paringane Gusti mono kudu tansah disyukuri. Apik, edi, lan endah tumraping sesawangan kadhang bisa ngganggu utawa mbilaheni.

Alon-alon, Merak mbubuti wulu singwiskebacut kraket ing awake Kancil. Senajan ngrasakake perih amarga sebagian kulite ana sing katut thethel, Kancil mung mringis-mringis karo ngempet lara. Ora sambat. Ndhadha tumindake kang salah merga mung nuruti karepe dhewe, tanpa metung tuna lan bathine.

Sing ndongeng : Bagong Soebardjo

Sumber               : http://jayabaya.wordpress.com/2006/09/08

Tips Menghadapi Ujian

Standar

Sepuluh Tips untuk Membantu Kamu dalam Mengerjakan Ujian
• Datanglah dengan persiapan yang matang dan lebih awal.
Bawalah semua alat tulis yang kamu butuhkan, seperti pensil, pulpen, kalkulator, kamus, jam (tangan), penghapus, tip ex, penggaris, dan rautan pensil. Perlengkapan ini akan membantumu untuk tetap konsentrasi selama mengerjakan ujian.
• Tenang dan percaya diri.
Ingatkan dirimu bahwa kamu sudah siap sedia dan akan mengerjakan ujian dengan baik.
• Bersantailah tapi waspada.
Pilihlah kursi atau tempat yang nyaman untuk mengerjakan ujian. Pastikan kamu mendapatkan tempat yang cukup untuk mengerjakannya. Pertahankan posisi duduk tegak.
• Preview soal-soal ujianmu dulu (bila ujian memiliki waktu tidak terbatas)
Luangkan 10% dari keseluruhan waktu ujian untuk membaca soal-soal ujian secara mendalam, tandai kata-kata kunci dan putuskan berapa waktu yang diperlukan untuk menjawab masing-masing soal. Rencanakan untuk mengerjakan soal yang mudah dulu, baru soal yang tersulit. Ketika kamu membaca soal-soal, catat juga ide-ide yang muncul yang akan digunakan sebagai jawaban.
• Jawab soal-soal ujian secara strategis.
Mulai dengan menjawab pertanyaan mudah yang kamu ketahui, kemudian dengan soal-soal yang memiliki nilai tertinggi. Pertanyaan terakhir yang seharusnya kamu kerjakan adalah:
o soal paling sulit
o yang membutuhkan waktu lama untuk menulis jawabannya
o memiliki nilai terkecil
• Ketika mengerjakan soal-soal pilihan ganda, ketahuilah jawaban yang harus dipilih/ditebak.
Mula-mula, abaikan jawaban yang kamu tahu salah. Tebaklah selalu suatu pilihan jawaban ketika tidak ada hukuman pengurangan nilai, atau ketika tidak ada pilihan jawaban yang dapat kamu abaikan. Jangan menebak suatu pilihan jawaban ketika kamu tidak mengetahui secara pasti dan ketika hukuman pengurangan nilai digunakan. Karena pilihan pertama akan jawabanmu biasanya benar, jangan menggantinya kecuali bila kamu yakin akan koreksi yang kamu lakukan.
• Ketika mengerjakan soal ujian esai, pikirkan dulu jawabannya sebelum menulis.
Buat kerangka jawaban singkat untuk esai dengan mencatat dulu beberapa ide yang ingin kamu tulis. Kemudian nomori ide-ide tersebut untuk mengurutkan mana yang hendak kamu diskusikan dulu.
• Ketika mengerjakan soal ujian esai, jawab langsung poin utamanya.
Tulis kalimat pokokmu pada kalimat pertama. Gunakan paragraf pertama sebagai overview esaimu. Gunakan paragraf-paragraf selanjutnya untuk mendiskusikan poin-poin utama secara mendetil. Dukung poinmu dengan informasi spesifik, contoh, atau kutipan dari bacaan atau catatanmu.
• Sisihkan 10% waktumu untuk memeriksa ulang jawabanmu.
Periksa jawabanmu; hindari keinginan untuk segera meninggalkan kelas segera setelah kamu menjawab semua soal-soal ujian. Periksa lagi bahwa kamu telah menyelesaikan semua pertanyaan. Baca ulang jawabanmu untuk memeriksa ejaan, struktur bahasa dan tanda baca. Untuk jawaban matematika, periksa bila ada kecerobohan (misalnya salah meletakkan desimal). Bandingkan jawaban matematikamu yang sebenarnya dengan penghitungan ringkas.
• Analisa hasil ujianmu.
Setiap ujian dapat membantumu dalam mempersiapkan diri untuk ujian selanjutnya. Putuskan strategi mana yang sesuai denganmu. Tentukan strategi mana yang tidak berhasil dan ubahlah. Gunakan kertas ujian sebelumnya ketika belajar untuk ujian akhir.
• Opsi terakhir dan terpenting.
Opsi terakhir dan terpenting adalah serahkan apa yang akan terjadi kepada Allah.

Sumber: http://www.studygs.net/indon/tsttak1.htm

Bu Guru

Standar

Bu Guru, Ayo Kita Main Layangan!

 “Sekarang tiba saatnya kita membuat karangan berdasarkan pengalaman yang paling mengesankan.” kataku pada saat pelajaran Bahasa Indonesia.

“Ha? Ngarang lagi, Bu?!” celetuk anak-anak kelas IVA SDIT Izzatul Islam disertai wajah protes, karena bagi mereka mengarang jauh lebih sulit jika dibandingkan Matematika dan Bahasa Inggris.

Dua jam pelajaran yang dapat mereka tulis hanyalah sebuah paragraf yang tak selesai dan tak jelas kalimat utamanya. Bahkan dua anak masih mengalami kesulitan dalam menulis judul cerita. Aku pun mulai kehabisan ide mengajari mereka setelah kujabarkan panjang lebar bagaimana cara menulis karangan.

Pada saat itu, di sekolah itu masih memiliki fasilitas yang minim. Di perpustakaan hanya dipenuhi buku BOS. Sedikit sekali, bahkan tidak ada buku cerita. Apalagi kamus dan ensiklopedia. Mungkin itu salah satu penyebabnya anak-anak sangat kurang dalam menjabarkan kosakata. Ya, karena kurang membaca.

Beberapa saat kemudian muncul ide di benakku, kupancing mereka, “Ayo Riski, tadi Riski ke sekolah naik apa?”

“Jalan kaki, Bu.” jawabnya sambil tersenyum simpul.

“Jalan kaki?” sempat aku terkejut, “Bukannya rumah Riski jauh? Di desa selatan SD kita,kan?”

Dia hanya mengangguk malu. Kutanya lagi, “Terus kalau pulang sekolah, apa yang Riski kerjakan?” tanyaku lebih penasaran.

Ngarit Bu.” jawabnya singkat.

Subhanallah, hati kecilku berdecak kagum. Anak seusia dia pulang sekolah pukul 14.00 dengan jalan kaki menuju rumahnya yang berjarak sekitar 3km dari sekolah. Sesampainya di rumah dia masih sempat ngarit (mencari rumput untuk makan hewan ternak). Subhanallah.

“Nah anak-anak, bukankah pengalaman Riski adalah pengalaman yang sangat mengesankan?” tanyaku sambil memuji Riski.

“Cuma ngarit aja kok mengesankan to, Bu, Bu!” Yoga menimpali.

“Lo, jangan salah, tidak semua anak bisa melakukannya lo, selama Bu Guru tinggal di Salatiga danSemarang, belum pernah ada anak yang seperti Riski. Mau jalan kaki dan mau membantu orang tua.” aku tetap menyemangati siswa lain agar terinspirasi membuat karangan.

Ternyata usahaku gagal. Ternyata bagi anak di Desa Pongangan ini, ngarit adalah hal yang biasa dan tidak pentas untuk dibuat karangan. Aku tak berhenti berusaha. Dua kali pertemuan, tiga kali pertemuan, hasilnya masih sama. Satu paragraf yang tak selesai.

“Baiklah anak-anak, permainan apa yang paling kalian sukai?” tanyaku penuh harap akan antusias mereka.

Danu siswa yang berbadan paling besar sekelas menjawab dengan antusiasnya, “Layangan, Bu!”

Badminton, Bu!” Heri, siswa yang kurus dan putih itu ikut antusias menjawab.

“Oke, besok Kamis kalian boleh membawa layangan atau raket dan kok (anak-anak menyebut shuttlecock dengan sebutan kok).”

“Hore! Asyik!” semua kegirangan.

Kebetulan hari Kamis aku mengajar Bahasa Indonesia pada jam pelajaran ke-1, ke-2, dan pelajaran SBK pada jam ke-3, ke-4.

“Siapkan buku gambar, pensil, setip (penghapus), dan pulas (pensil warna).” tepat pukul 08.00 aku ajak mereka.

Semua girang, tawa di wajah mereka begitu mengembang. Belum pernah kulihat mereka seantusias ini pada pelajaran-pelajaran sebelumnya. Kami susuri jallan setapak di kaki gunung Merbabu itu. Sesekali kami bertemu para petani, anak-anak senantiasa mempraktikkan keramahannya yang tidak hanya mereka hafalkan dalam pelajaran PKn.

Mangga, Mbah, Mangga Wa.” mereka begitu fasih melafalkan Basa Krama-nya. Mungkin aku saja kalah dengan mereka.

Sesekali kami melihat tanaman-tanamanLombokrawit yang merona, segar, dan besar. Sekali lagi aku belajar dari mereka. Aku dijelaskan panjang lebar tentang bagaimana mereka pernah menanamLombokbersama orang tuanya, bagaimana mereka memupuk, menyiangi, dan berapa lama mereka memanen setelah ditanam.

Sekali lagi aku kagum kepada mereka, karena baru kali itu aku melihat tanaman lombok. Sebelumnya, aku hanya melihat lombok yang dibeli Ibuku di pasar. Ya Allah, betapa memalukannya aku sebagai seorang guru, tetapi pengalamanku lebih sedikit dibandingkan murid-muridku.

Beberapa menit kemudian kami rasakan ada bau yang menyengat. Kututup hidung dengan jilbabku. Rupanya Rizal mengerti, “Itu namanya lethong Bu.” Seolah dia menjawab pertanyaan dalam hatiku.

“Lo, kok ditaruh di ladang?” tanyaku benar-benar seperti katak dalam tempurung.

“La iya, itu buat ngrabuk tanduran” jawab anak-anak serempak.

Aduh, betapa malunya aku. Ternyata lethong (kotoran sapi) itu sengaja ditaruh di ladang untuk ngrabuk tanduran (memupuk tanaman). Ilmuku bertambah satu lagi dari mereka.

Sampailah kami ke sebuah lapangan. Gunung Merbabu berdiri dengan gagahnya di sebelah selatan. Seberkas sinar matahari pagi menghiasinya sehingga menyerupai sebuah lukisan gunung. Di sebelah utara membentang Rawa Pening. Danau alami yang terkenal dengan legenda Baru Klinthing-nya.

“Nah, coba kalian lihat, ada apa saja di lapangan yang kita injak ini?” aku mencoba membuat mereka bertadabur alam.

“Merbabu!”

“Betul, apa lagi?” kuberikan apresiasi kepada mereka.

“Rawa Pening!”

“Telo Moyo!”

“Kebon, Bu Guru!”

“Iya, betul, semuanya betul!” aku semakin antusias. “Coba kalian gambar apa saja yang kalian sukai. Tapi ingat, harus yang benar-benar kalian lihat dari sini. Nggak boleh ditambah-tambahi sendiri, ya?”

Tak seperti biasanya mereka menggambar pemandangan dengan kusyuknya. Tidak satu pun anak yang mencoba melihat gambar temannnya. Tidak ada 30 menit gambar mereka telah selesai. Subhanallah. Benar-benar tak seperti biasanya.

“Nah, sekarang silakan bermain layangan!” teriakku penuh semangat.

“Bu Guru, Ayo Kita Main Layangan!” Riski mengajakku tanpa sungkan.

“Boleh,” jawbku agak sedikit ragu awalnya.

“Ayo! Ayo! Ayo!” semangat mereka sungguh luar biasa.

Perlahan aku mulai tak ragu untuk bermain badminton dengan mereka. Meskipun berbalut rok panjang dan jilbab. Aku juga tak malu ketika diajari mereka untuk bermain layangan.

“Ayo, Bu Nita! Tarik, tarik, tarik!” Yoga dan Riski semangat sekali mengajariku. “Ulur, ulur, ulur!”

“Ya… layanganku dipedhotke (diputuskan) Bu Nita!” Riski berteriak. Memang waktu itu tak sengaja layangan Riski yang kukendalikan bersangkutan dengan layangan Sandi, dan akhirnya putus.

Satu jam tak terasa telah berlalu. “Ayo kita kembali kesekolah!”

“Ya… masih pagi, Bu!”

“Sudah, insyaallah kapan-kapan kita lanjutkan lagi.” kataku mengobati kekecewaan mereka.

Setelah sampai di kelas, kubiarkan mereka bersantai dan beristirahat di dalam kelas. “Bagaimana perasaan kalian?”

Seneng!”

“Capek nggak?” tanyaku semakin semangat.

“Nggak, Bu!”

“Nah, sekarang keluarkan buku Bahasa Indonesia kalian!”

Semua mengambil buku Bahasa Indonesia dengan sangat semangat. “Sekarang tulislah apa yang kalian alami baru saja? Apa yang kalian rasakan ketika kalian berpetualang, berjalan menyusuri jalan setapak, melihat gunung, melihat rawa, dan bermain bersama Bu Nita?

Tanpa kesulitan, mereka begitu cepat mengeluarkan ide-ide mereka. Bahkan Danu yang biasanya satu paragraf dalam dua jam pelajaran, kini bisa empat halaman dalam tiga puluh menit. Begitu juga dengan anak-anak lainnya. Tidak ada satu pun yang mengeluh bahwa mengarang itu sulit.

Subhanallah. Benar-benar tak kusangka sedahsyat ini perubahan yang mereka alami. Mereka tidak tahu bahwa baru saja kukenalkan Contextual Teaching Learning dalam hidup mereka.

Alhamdulillah. Mindset bahwa membuat karangan itu sulit telah berhasil mereka singkirkan. Mental mudah menyerah, mudah mengeluh dengan segala keterbatasan anak-anak pedesaan, telah berhasil mereka kalahkan.

Mengajar di desa yang masih tertinggal adalah sebuah pelajaran berharga bagiku. Desa yang belum tersentuh oleh peradabankota, desa yang masih asli dengan segala alamnya, desa yang masih original dengan semua tunas-tunas bangsanya.

Memang, mengajarkan kemampuan akademik, jauh lebih mudah jika dibandingkan membentuk karakter pada anak didik. Membentuk karakter diawali dengan mencontohkan. Terus memberikan semangat, kata positif, apresiasi meskipun kadang-kadang apa yang mereka katakana belum tentu tepat. Seperti anak-anak di kaki Gunung Merbabu di bumi Jawa Tengah itu. Di kala mereka merasa ‘tidak bisa’, terus kita berikan semangat, “Ayo semangat!” Jika mereka masih ragu dengan kemampuan mereka sendiri, beri semangat, semangat, dan terus berikan semangat!

Anak-anak didik kita adalah ladang amal kita yang akan kita bawa hingga ke hari akhir kelak. Mereka senantiasa memberikan warna dalam keseharian kita. Warna dengan ketidaktahuan mereka, kepolosan mereka, kepedulian mereka, bahkan kecerdasan mereka yang terkadang orang salah mengartikan ‘kenakalan’.

Pada dasarnya tidak ada anak yang nakal. Tidak ada anak yang rusak. Mereka adalah kertas putih yang masih labil untuk menentukan goresan apa yang hendak mereka pilih. Marilah kita sebagai guru terus berusaha menggoreskan tinta emas itu ke dalam kertas putih mereka, dengan tidak berpikir negatif dengan ketidakpasan kecerdasan mereka.

Allah pasti melihat, bagaimana niat kita. Apa yang kita lakukan tentu akan mendapatkan balasan dariNya. Walaupun yang kita lakukan hanya kebaikan seberat debu. Semangat guru-guru Indonesia!

Hello world!

Standar

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.