Bu Guru, Ayo Kita Main Layangan!
“Sekarang tiba saatnya kita membuat karangan berdasarkan pengalaman yang paling mengesankan.” kataku pada saat pelajaran Bahasa Indonesia.
“Ha? Ngarang lagi, Bu?!” celetuk anak-anak kelas IVA SDIT Izzatul Islam disertai wajah protes, karena bagi mereka mengarang jauh lebih sulit jika dibandingkan Matematika dan Bahasa Inggris.
Dua jam pelajaran yang dapat mereka tulis hanyalah sebuah paragraf yang tak selesai dan tak jelas kalimat utamanya. Bahkan dua anak masih mengalami kesulitan dalam menulis judul cerita. Aku pun mulai kehabisan ide mengajari mereka setelah kujabarkan panjang lebar bagaimana cara menulis karangan.
Pada saat itu, di sekolah itu masih memiliki fasilitas yang minim. Di perpustakaan hanya dipenuhi buku BOS. Sedikit sekali, bahkan tidak ada buku cerita. Apalagi kamus dan ensiklopedia. Mungkin itu salah satu penyebabnya anak-anak sangat kurang dalam menjabarkan kosakata. Ya, karena kurang membaca.
Beberapa saat kemudian muncul ide di benakku, kupancing mereka, “Ayo Riski, tadi Riski ke sekolah naik apa?”
“Jalan kaki, Bu.” jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Jalan kaki?” sempat aku terkejut, “Bukannya rumah Riski jauh? Di desa selatan SD kita,kan?”
Dia hanya mengangguk malu. Kutanya lagi, “Terus kalau pulang sekolah, apa yang Riski kerjakan?” tanyaku lebih penasaran.
“Ngarit Bu.” jawabnya singkat.
Subhanallah, hati kecilku berdecak kagum. Anak seusia dia pulang sekolah pukul 14.00 dengan jalan kaki menuju rumahnya yang berjarak sekitar 3km dari sekolah. Sesampainya di rumah dia masih sempat ngarit (mencari rumput untuk makan hewan ternak). Subhanallah.
“Nah anak-anak, bukankah pengalaman Riski adalah pengalaman yang sangat mengesankan?” tanyaku sambil memuji Riski.
“Cuma ngarit aja kok mengesankan to, Bu, Bu!” Yoga menimpali.
“Lo, jangan salah, tidak semua anak bisa melakukannya lo, selama Bu Guru tinggal di Salatiga danSemarang, belum pernah ada anak yang seperti Riski. Mau jalan kaki dan mau membantu orang tua.” aku tetap menyemangati siswa lain agar terinspirasi membuat karangan.
Ternyata usahaku gagal. Ternyata bagi anak di Desa Pongangan ini, ngarit adalah hal yang biasa dan tidak pentas untuk dibuat karangan. Aku tak berhenti berusaha. Dua kali pertemuan, tiga kali pertemuan, hasilnya masih sama. Satu paragraf yang tak selesai.
“Baiklah anak-anak, permainan apa yang paling kalian sukai?” tanyaku penuh harap akan antusias mereka.
Danu siswa yang berbadan paling besar sekelas menjawab dengan antusiasnya, “Layangan, Bu!”
“Badminton, Bu!” Heri, siswa yang kurus dan putih itu ikut antusias menjawab.
“Oke, besok Kamis kalian boleh membawa layangan atau raket dan kok (anak-anak menyebut shuttlecock dengan sebutan kok).”
“Hore! Asyik!” semua kegirangan.
Kebetulan hari Kamis aku mengajar Bahasa Indonesia pada jam pelajaran ke-1, ke-2, dan pelajaran SBK pada jam ke-3, ke-4.
“Siapkan buku gambar, pensil, setip (penghapus), dan pulas (pensil warna).” tepat pukul 08.00 aku ajak mereka.
Semua girang, tawa di wajah mereka begitu mengembang. Belum pernah kulihat mereka seantusias ini pada pelajaran-pelajaran sebelumnya. Kami susuri jallan setapak di kaki gunung Merbabu itu. Sesekali kami bertemu para petani, anak-anak senantiasa mempraktikkan keramahannya yang tidak hanya mereka hafalkan dalam pelajaran PKn.
“Mangga, Mbah, Mangga Wa.” mereka begitu fasih melafalkan Basa Krama-nya. Mungkin aku saja kalah dengan mereka.
Sesekali kami melihat tanaman-tanamanLombokrawit yang merona, segar, dan besar. Sekali lagi aku belajar dari mereka. Aku dijelaskan panjang lebar tentang bagaimana mereka pernah menanamLombokbersama orang tuanya, bagaimana mereka memupuk, menyiangi, dan berapa lama mereka memanen setelah ditanam.
Sekali lagi aku kagum kepada mereka, karena baru kali itu aku melihat tanaman lombok. Sebelumnya, aku hanya melihat lombok yang dibeli Ibuku di pasar. Ya Allah, betapa memalukannya aku sebagai seorang guru, tetapi pengalamanku lebih sedikit dibandingkan murid-muridku.
Beberapa menit kemudian kami rasakan ada bau yang menyengat. Kututup hidung dengan jilbabku. Rupanya Rizal mengerti, “Itu namanya lethong Bu.” Seolah dia menjawab pertanyaan dalam hatiku.
“Lo, kok ditaruh di ladang?” tanyaku benar-benar seperti katak dalam tempurung.
“La iya, itu buat ngrabuk tanduran” jawab anak-anak serempak.
Aduh, betapa malunya aku. Ternyata lethong (kotoran sapi) itu sengaja ditaruh di ladang untuk ngrabuk tanduran (memupuk tanaman). Ilmuku bertambah satu lagi dari mereka.
Sampailah kami ke sebuah lapangan. Gunung Merbabu berdiri dengan gagahnya di sebelah selatan. Seberkas sinar matahari pagi menghiasinya sehingga menyerupai sebuah lukisan gunung. Di sebelah utara membentang Rawa Pening. Danau alami yang terkenal dengan legenda Baru Klinthing-nya.
“Nah, coba kalian lihat, ada apa saja di lapangan yang kita injak ini?” aku mencoba membuat mereka bertadabur alam.
“Merbabu!”
“Betul, apa lagi?” kuberikan apresiasi kepada mereka.
“Rawa Pening!”
“Telo Moyo!”
“Kebon, Bu Guru!”
“Iya, betul, semuanya betul!” aku semakin antusias. “Coba kalian gambar apa saja yang kalian sukai. Tapi ingat, harus yang benar-benar kalian lihat dari sini. Nggak boleh ditambah-tambahi sendiri, ya?”
Tak seperti biasanya mereka menggambar pemandangan dengan kusyuknya. Tidak satu pun anak yang mencoba melihat gambar temannnya. Tidak ada 30 menit gambar mereka telah selesai. Subhanallah. Benar-benar tak seperti biasanya.
“Nah, sekarang silakan bermain layangan!” teriakku penuh semangat.
“Bu Guru, Ayo Kita Main Layangan!” Riski mengajakku tanpa sungkan.
“Boleh,” jawbku agak sedikit ragu awalnya.
“Ayo! Ayo! Ayo!” semangat mereka sungguh luar biasa.
Perlahan aku mulai tak ragu untuk bermain badminton dengan mereka. Meskipun berbalut rok panjang dan jilbab. Aku juga tak malu ketika diajari mereka untuk bermain layangan.
“Ayo, Bu Nita! Tarik, tarik, tarik!” Yoga dan Riski semangat sekali mengajariku. “Ulur, ulur, ulur!”
“Ya… layanganku dipedhotke (diputuskan) Bu Nita!” Riski berteriak. Memang waktu itu tak sengaja layangan Riski yang kukendalikan bersangkutan dengan layangan Sandi, dan akhirnya putus.
Satu jam tak terasa telah berlalu. “Ayo kita kembali kesekolah!”
“Ya… masih pagi, Bu!”
“Sudah, insyaallah kapan-kapan kita lanjutkan lagi.” kataku mengobati kekecewaan mereka.
Setelah sampai di kelas, kubiarkan mereka bersantai dan beristirahat di dalam kelas. “Bagaimana perasaan kalian?”
“Seneng!”
“Capek nggak?” tanyaku semakin semangat.
“Nggak, Bu!”
“Nah, sekarang keluarkan buku Bahasa Indonesia kalian!”
Semua mengambil buku Bahasa Indonesia dengan sangat semangat. “Sekarang tulislah apa yang kalian alami baru saja? Apa yang kalian rasakan ketika kalian berpetualang, berjalan menyusuri jalan setapak, melihat gunung, melihat rawa, dan bermain bersama Bu Nita?
Tanpa kesulitan, mereka begitu cepat mengeluarkan ide-ide mereka. Bahkan Danu yang biasanya satu paragraf dalam dua jam pelajaran, kini bisa empat halaman dalam tiga puluh menit. Begitu juga dengan anak-anak lainnya. Tidak ada satu pun yang mengeluh bahwa mengarang itu sulit.
Subhanallah. Benar-benar tak kusangka sedahsyat ini perubahan yang mereka alami. Mereka tidak tahu bahwa baru saja kukenalkan Contextual Teaching Learning dalam hidup mereka.
Alhamdulillah. Mindset bahwa membuat karangan itu sulit telah berhasil mereka singkirkan. Mental mudah menyerah, mudah mengeluh dengan segala keterbatasan anak-anak pedesaan, telah berhasil mereka kalahkan.
Mengajar di desa yang masih tertinggal adalah sebuah pelajaran berharga bagiku. Desa yang belum tersentuh oleh peradabankota, desa yang masih asli dengan segala alamnya, desa yang masih original dengan semua tunas-tunas bangsanya.
Memang, mengajarkan kemampuan akademik, jauh lebih mudah jika dibandingkan membentuk karakter pada anak didik. Membentuk karakter diawali dengan mencontohkan. Terus memberikan semangat, kata positif, apresiasi meskipun kadang-kadang apa yang mereka katakana belum tentu tepat. Seperti anak-anak di kaki Gunung Merbabu di bumi Jawa Tengah itu. Di kala mereka merasa ‘tidak bisa’, terus kita berikan semangat, “Ayo semangat!” Jika mereka masih ragu dengan kemampuan mereka sendiri, beri semangat, semangat, dan terus berikan semangat!
Anak-anak didik kita adalah ladang amal kita yang akan kita bawa hingga ke hari akhir kelak. Mereka senantiasa memberikan warna dalam keseharian kita. Warna dengan ketidaktahuan mereka, kepolosan mereka, kepedulian mereka, bahkan kecerdasan mereka yang terkadang orang salah mengartikan ‘kenakalan’.
Pada dasarnya tidak ada anak yang nakal. Tidak ada anak yang rusak. Mereka adalah kertas putih yang masih labil untuk menentukan goresan apa yang hendak mereka pilih. Marilah kita sebagai guru terus berusaha menggoreskan tinta emas itu ke dalam kertas putih mereka, dengan tidak berpikir negatif dengan ketidakpasan kecerdasan mereka.
Allah pasti melihat, bagaimana niat kita. Apa yang kita lakukan tentu akan mendapatkan balasan dariNya. Walaupun yang kita lakukan hanya kebaikan seberat debu. Semangat guru-guru Indonesia!